Jayadi Damanik, Kordinator Deks KBB, HAM |
JAKARTA,SHR – UU NO 1/PNPS
Tahun 1965 yang mengatur tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama dinilai multitafsir. Diantaranya tentang batasan
penafsiran dan kegiatan menyimpang. Jika batasan itu diserahkan kepada
ulama atau tokoh-tokoh agama yang berbeda maka terjadi saling
menyalahkan.
Pernyataan itu diutarakan oleh Jayadi
Damanik, Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM
ketika menjadi saksi ahli dalam uji materi UU No/1 PNPS 1965 di
Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (23/10).
“Seharusnya yang harus dipahami adalah berbeda itu tidak harus dikatakan menyimpang,” ujarnya.
Ia menambahkan di dunia pasti terdapat
perbedaan di setiap agama dengan berbagai aliran-alirannya dan tugas
pemerintah adalah melindunginya, tidak dengan menyatakan menyimpang atau
tidak.
Hal senada dikemukakan oleh saksi ahli
lainnya, Imdadun Rahmat, Komisioner Komnas HAM. Menurutnya, dalam
perspektif HAM menyimpang atau tidak menyimpang suatu keyakinan atau
ajaran suatu agama atau sekte manapun, hal itu tidak menjadi faktor
orang lain kehilangan hak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan
kebebasan oleh negara.
“Karena jika kemudian ada keberpihakan
negara kepada satu kepercayaan atau sekte atau aliran tertentu dan
melakukan diskriminasi terhadap sekte yang lain, maka akan terjadi
tindakan pelanggaran HAM,” tegasnya.
Fenomena diskriminasi terhadap kelompok
yang dianggap menyimpang ini digambarkan oleh Imadadun Rahmat pada
kesaksian yang ia dapatkan ketika menghadiri konferensi kebebasan
beragama di PBB, yang menurutnya fenomena di Indonesia juga dijumpai di
negara-negara Timur Tengah, Negara-negara teluk dan Iran.
Aktivis HAM negara teluk melaporkan
terjadinya persekusi, intimidasi dan diskriminasi oleh mayoritas Sunni
terhadap minoritas Syiah yang dianggap sebagai sekte yang menyimpang dan
bertentangan dengan Sunni. Sebaliknya, aktivis HAM Iran membela
kelompok Sunni yang di Iran menjadi objek persekusi.
Oleh karena itu, menurutnya, apakah dunia ini akan dibiarkan menjadi ladang ketidakadilan oleh yang kuat terhadap yang lemah.
Baik Jayadi maupun Imdadun Rahmat
berpendapat bahwa UU No. 1/PNPS 1965 ini telah kehilangan relevansinya
untuk situasi saat ini karena dahulu digunakan sebagai sarana preventif
tetapi saat ini seolah boleh ditafsirkan untuk meniadakan hak menganut
aliran yang berbeda di Indonesia.
Dalam sidang uji materi ini juga
menghadirkan dua saksi fakta dari Ahmadiyah Parakansalak dan Depok.
Mereka menyampaikan kerugian-kerugian yang mereka alami selama ini,
mulai dari pelarangan ibadah, penyegelan masjid dan bentuk-bentuk
intimidasi lainnya oleh masyarakat maupun aparat pemerintah.( Djunet )
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.