SETELAH 11 tahun kasus kekerasan yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), pemulihan hak-hak mereka terutama hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) belum juga terselesaikan.
Hingga saat ini, setelah 11 tahun mereka terusir dari kampung halamannya, 35 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 155 jiwa JAI masih menjadi pengungsi di Asrama Transito Kota Mataram dan 5 KK lainnya mengungsi di eks RSUD Praya, Kabupaten Lombok Tengah.
"Artinya, sampai saat ini sebagai pengungsi mereka kehilangan beragam hak, ya hak sipil dan politik, hak atas rasa aman, hak untuk bebas memeluk keyakinan, hak atas tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Dan pemerintah pusat maupun daerah belum mampu memulihkan hak-hak tersebut," kata Muhammad Hafiz dari Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia dalam Diskusi Laporan Penelitian bertajuk Pemulihan Hak Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Studi Penanganan Pengungsi JAI NTB, Syah Sampang dan Eks Gafatar di Jakarta, Senin (3/9).
Penelitian yang dilakukannya bersama Komnas HAM menemukan fakta, bahwa pemerintah daerah dalam hal ini Pemrov NTB, belum sepenuhnya melakukan sosialisasi terhadap SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah yang seharusnya jadi panduan bagi perlindungan hak-hak JAI NTB.
"Termasuk pemulihan tempat ibadah mereka yang sudah dirusak hingga saat ini tidak ada solusinya," sambung Hafiz.
Sebagai rekomendasi terhadap pemerintah, jelas Hafiz, pengungsi JAI di NTB tersebut harus segera dilakukan upaya relokasi termasuk hak atas perumahan bagi para pengungsi.
"Termasuk dalam proses relokasi ini nantinya pemerintah harus memastikan keamanan bagi mereka, rumah tinggal, tempat ibadah, hak-hak layaknya warga negara seperti KTP, KIP, dan KIS, akta kelahiran, akta kematian, akta nikah dan akses terhadap program pemerintah lainnnya," tegas Hafiz.
Dalam catatan HRWG dan Komnas HAM, kata dia, JAI di NTB mengalami persekusi secara berulang sejak tahun 1998 sampai 2010 dengan kejadian yang paling mengenaskan pada tahun 2006 pada saat terjadi penyerangan dan menyebabkan 26 rumah rusak dan terbakar.
Dalam catatan HRWG pada tahun 1998 penyerangan terjadi di Dusun Kranji, desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur. Menyusul kemudian penyerangan ke kampung Tompok Opok, Dusun Ekas. Lalu merembet pada 2001 ke Kecamatan Bayan, Lombok Barat. Penyerangan berlanjut lagi ke kelurahan Pancor dan Selong, Lombok Timur.. (OL)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.