Jakarta,(SHR)Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutannya pada Hari Antikorupsi Sedunia Tahun 2021 di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis, (9/12) menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh identik dengan penangkapan. Pencegahan merupakan langkah yang lebih fundamental dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Penanaman budaya antikorupsi sejak dini merupakan bagian penting dari pemberantasan korupsi. Membangun kesadaran diri adalah kunci mental antikorupsi.
Presiden juga mengingatkan bahwa masyarakat menunggu hasil nyata dari pemberantasan korupsi yang dampaknya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat melalui terwujudnya pelayanan publik yang lebih mudah dan terjangkau, pembukaan lapangan kerja baru yang lebih bertambah dan berlimpah, serta harga kebutuhan pokok yang lebih murah. Kepala Negara pun mengajak para peserta yang hadir secara fisik maupun daring untuk terus membangun tata kelola yang dapat mencegah tindak koruptif.
Ketua DPC Peradi SAI Jakbar Stefanus Gunawan, SH., M.Hum, melihat sejarah dari pada pembentukan UU tindak pidana korupsi yaitu UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi dan terakhir mengalami perubahan dengan di undangkannya UU Nomor 20 tahun 2001. Kemudian juga dibentuklah pada waktu itu lembaga KPK dengan dasar peraturan pemerintah tahun 2000, kenapa ada UU tindak pidana korupsi dan juga ada lembaga KPK juga ada pengadilan tindak pidana korupsi. karena penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang pada waktu itu ditangani oleh Polri dan kejaksaan. Kedua intansi ini dianggap belum berfungsi secara maksimal untuk memberantas dalam penegakan tindak pidana korupsi. Maka dibentuklah lembaga KPK juga pengadilan tindak pidana korupsi.
“Kalau kita melihat sejarah perjalannya bahwa sampai hari ini tindak pidana koruspi itu terjadi seolah-olah terkesan tak berhenti dan terus sambung menyambung. Hal ini dipetingatkannya oleh KPK adanya penangkapan penangkapan secara OTT maupun tidak. Seolah olah menujukan pemberantasan koruspi semakin marak dan semakin terus terjadi di negara kita. Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara mengatakan tindak pidana koruspi itu tidak indentik dengan penangkapan,” ujar Ketua DPC Peradi SAI (Perhimpunan Advokat Indonesia – Suara Advokat Indonesia) Jakarta Barat kepada mediaindonesianews.com (11/12).
Stefanus sependapat dan setuju apa yang di tegaskan Presiden RI bahwa memang idealnya itu bahwa korupsi ini bagaimana sebagai aparat penegak hukum bersama-sama memikirkan tidak hanya untuk menindak. Tapi berpikir bagaimana tindak pidana korupsi itu dapat cegah. Sekali lagi kata Stefanus menegaskan, idealnya melakukan pencegahan. Bukan dengan penindakan. Dan bila dilihat juga, apakah yang terjadi sehingga bahwa perkara perkara koruspi di negara ini terus saja terjadi. Apa sih kendalanya?
“Saya sebagai praktisi hukum melihat, pertama, mental para pelaku tindak pidana koruspi itu berjiwa keserakahan. Kedua, adanya kesempatan. Ketiga UU tindak pidana koruspi ini ditafsirakan secara multitafsir. Empat, tidak ada budaya malu. Sebaiknya ini kita terapkan bagaimana ada mental-mental aparat penegak hukum maupun juga para pelaku tindak pidana koruspi diterapkan ada budaya malu sehingga orang enggan atau berpikir untuk melakukan tindak pidana koruspi, dan yang terpenting juga adalah soal sangsi yang diterapkan saya melihatnya belum memberikan efek jera. Terhadap para pelaku tindak pidana korupsi,” katanya.
Namun bila ada pertanyaan, kenapa masih saja belum maksimal pemberantasan tindak pidana koruspsi di Indonesia dan seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat, Stefanus melihatnya bahwa kinerja aparat atau lembaga yang belum maksimal. Kemudian juga multitafsir dari pada suatu UU atau ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi tersebut. Faktanya, belum adanya keseimbangan antara penegakan hukum dengan poengembalian negara yang sudah diselamatkan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, urainya.
Menurut Stefanus, dilihat dari pada UU atau aturan yang ada tentang yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi sudah cukup jelas, tegas. Cuma kata Stefanus, permasalahannya adalah terletak pada komitmen dari pada aparat penegak hukum itu sendiri. Apakah ada keberanian, kemudian proses penegakan hukum itu tidak boleh tebang pilih. Kedua, hukum tidak boleh iinterfensi secara politik, tiga, harus ada budaya malu dari para aparat penegaka hukum itu sendiri.
“Kalau hal hal ini sudah dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik, saya percaya dan yakin bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi dapat benar-benar berjala dengan baik dan perkara -perkara korupsi akan semakin berkurang. Dan ada satu lagi harus ada pemiskinan. Karena kalau kita lihat sekarang para pelaku koruspi tidak ada rasa beban moral sehingga memperkaya diri hidup bermewah mewah untuk itu harus ada diterapkan pemiskinan,” pintanya.
Kedepan kata Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Jabodetabek berharap, Indonesia semakin lebih baik adanya keseriusan dari pemerintah bersama dengan elemen bangsa untuk bersama-sama menuju Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih bebas lagi dari korupsi indonesia hebat, Indonesia super, Indonesia rumah kita bersama, tutupnya. (Tim) .
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.